Review Komik 21st Century Retrogression

review-komik-21st-century-retrogression

Review Komik 21st Century Retrogression. Pada 14 November 2025, saat musim gugur membawa nostalgia ke dunia komik digital, “21st Century Retrogression” merayakan akhir perjalanannya dengan chapter 65 yang dirilis Februari lalu, meninggalkan jejak mendalam di hati penggemar manhwa fantasy. Karya ini, yang menggabungkan elemen Taoisme kuno dengan survival modern, mengikuti perjuangan biksu tua Ha Pung Gae yang menentang arus waktu untuk capai keabadian. Bukan sekadar cerita regression biasa, seri ini eksplorasi tema counter-retrogression—mundur untuk maju—di tengah konflik antara kebijaksanaan Joseon dan kekacauan abad ke-21. Di era manhwa bertema immortality yang sedang naik daun, “21st Century Retrogression” menonjol karena narasinya yang filosofis dan visual memukau, meski pacing akhir kadang terasa terburu-buru. Artikel ini sajikan review pasca-komplet berdasarkan keseluruhan arc, menyoroti kekuatan dan celah agar Anda bisa nilai apakah layak binge ulang. Siapkah Anda mundur ke masa lalu demi pelajaran masa depan? BERITA TERKINI

Plot yang Memikat: Counter-Regression dan Perjuangan Abadi: Review Komik 21st Century Retrogression

Plot “21st Century Retrogression” berpusat pada Ha Pung Gae, biksu Tao tua yang selamat dari akhir Dinasti Joseon berkat teknik rahasia, tapi terjebak siklus retrogression—mundur usia secara paksa untuk perpanjang umur. Di abad ke-21, ia bangun di Seoul modern yang penuh polusi spiritual dan ancaman urban, di mana ia harus capai terobosan counter-retrogression: maju tanpa bayar harga jiwa. Cerita dimulai lambat dengan flashback Joseon, tapi cepat bangun ketegangan saat Gae hadapi guild kultivator kontemporer yang incar rahasianya, sambil navigasi dunia hybrid di mana sihir Tao bertabrakan dengan teknologi.

Kekuatan plot ada di lapisan filosofis: setiap arc, dari season 1 (chapter 1-20) yang fokus adaptasi modern hingga season akhir (chapter 46-65) yang klimaks di ritual abadi, tunjukkan bagaimana Gae gunakan pengetahuan kuno untuk atasi krisis seperti invasi roh digital atau turnamen kultivator global. Fakta menarik: seri ini terinspirasi legenda Tao seperti Laozi, tapi dengan twist Korea di mana counter-retrogression simbolisasi perlawanan kolonialisme spiritual pasca-Joseon. Hingga akhir, misteri siklus waktu—mengapa Gae terpilih dan apa harga sejati keabadian—diselesaikan dengan twist bittersweet, di mana kemenangan Gae bukan akhir bahagia tapi siklus baru.

Celahnya: pacing season 2 (chapter 21-45) terlalu grinding dengan subplot kultivator rival yang repetitif, buat beberapa pembaca merasa stuck sebelum klimaks. Di 2025, pasca-komplet, plot ini dipuji sebagai underdog yang naik daun, mirip “The Beginning After the End” versi lebih mistis, memuaskan penggemar tema waktu, tapi bisa melelahkan bagi yang cari aksi nonstop. Secara keseluruhan, narasi berhasil bangun arus mundur-maju yang bikin pembaca renungkan umur sendiri, dengan ending yang tutup lingkaran tanpa terasa dipaksakan.

Karakter yang Kompleks: Biksu Tua di Tengah Generasi Muda: Review Komik 21st Century Retrogression

Karakter jadi jiwanya “21st Century Retrogression”, dengan Ha Pung Gae sebagai pusat yang paling ikonik. Awalnya digambarkan sebagai tetua bijak tapi rapuh—rambut putih panjang, jubah usang, dan mata penuh penyesalan—Gae berevolusi jadi mentor ambigu, di mana kebijaksanaannya campur sinisme abad modern. Konflik internalnya, seperti ragu counter-retrogression yang potong ikatan dengan murid Joseon, buat ia relatable meski usianya ribuan tahun. Di chapter akhir, interaksinya dengan generasi Z kultivator ungkap sisi ayahnya, di mana ia ajari mereka bukan cuma teknik, tapi arti mundur untuk maju.

Pendukung kuat: murid muda seperti Ji Hye, gadis urban yang warisi Tao tapi struggle dengan identitas hybrid, atau rival guild yang haus kekuasaan tapi punya backstory trauma kolonial, tambah kedalaman lewat dinamika mentor-murid. Fakta: seri ini kaya backstory, seperti masa Gae di Joseon yang penuh pengkhianatan istana, yang diadaptasi dari cerita rakyat Korea untuk ciptakan tema warisan budaya. Ini bangun persahabatan rapuh di dunia survival, di mana karakter bukan sekadar foil untuk Gae.

Kritik: dimensi emosi sampingan kurang, dengan Ji Hye terasa fungsional sebagai love interest minim, kurang evolusi mandiri. Rival awal juga stereotip—jahat demi jahat—meski season akhir perbaiki dengan redemption arc. Di genre immortality, karakter ini unggul dalam psikologi waktu, buat pembaca investasi pada dilema Gae daripada pertarungan murni. Mereka punya kedalaman filosofis, tapi butuh lapisan lebih untuk hindari kesan satu dimensi dan bikin seri lebih emosional.

Gaya Seni dan Aksi: Visual Mistis yang Berkembang Elegan

Gaya seni “21st Century Retrogression” adalah perpaduan indah antara tradisional dan modern—garis halus ala lukisan tinta Korea untuk flashback Joseon, kontras dengan panel urban gritty untuk Seoul kontemporer. Awalnya sederhana dengan shading lembut yang tunjukkan usia Gae, tapi seiring chapter, seni mekar: efek counter-retrogression digambar dinamis dengan aura cahaya mundur-maju, panel ritual pakai perspektif spiral yang tingkatkan nuansa waktu. Latar hybrid—kuil kuno di antara gedung pencakar langit—detail mistis-urban yang beri immersion, sementara ekspresi Gae yang tenang kontras chaos aksi kultivator.

Aksi jadi sorotan: koreografi Tao tak brutal tapi elegan, di mana combo teknik seperti qi reversal digambarkan fluid dengan flow lines dan particle energi, buat setiap duel terasa seperti meditasi bergerak. Di chapter 65, splash page untuk klimaks abadi capai puncak, dengan monokrom untuk transisi Joseon-modern. Fakta: gaya hitam-putih manhwa 2025 pakai screentone halus untuk aura, yang awalnya dikritik “terlalu statis” tapi kini dipuji “poetic” di review pasca-komplet.

Celah: seni underwhelming di momen emosional, close-up wajah kurang ekspresif saat Gae ragu, dan pacing visual lambat di arc grinding panjang. Bagi penggemar seperti “Omniscient Reader”, seni ini hipnotis di mistik, tapi butuh adaptasi untuk yang suka detail hiper-aksi. Secara keseluruhan, evolusinya cermin perjalanan Gae—dari pudar ke abadi—buat seri visually rewarding untuk reread, terutama di arc akhir yang penuh simbolisme.

Kesimpulan

“21st Century Retrogression” di November 2025 bukti manhwa filosofis yang timeless, dengan plot counter-regression memikat, karakter bijak seperti Gae yang mendalam, dan seni mistis yang elegan. Meski pacing grinding dan subplot sampingan jadi hambatan, kekuatannya di tema abadi dan warisan budaya buatnya layak diikuti ulang, terutama bagi penggemar immortality yang renungkan hidup. Rating rata 8.5/10 pasca-komplet tunjukkan legacy-nya sebagai hidden gem, dengan ending yang janji inspirasi jangka panjang. Bukan yang teriak-teriak, tapi cukup isi malam dingin dengan kebijaksanaan Tao. Binge dari chapter 1 akhir pekan ini, dan lihat apakah mundur sedikit bikin Anda maju lebih jauh. Siapa tahu, Gae ajari Anda rahasia counter-retrogression di dunia nyata. Selamat membaca, dan semoga umur Anda tak mundur sia-sia!

 

BACA SELENGKAPNYA DI…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *