Review Komik Attack on Titan. Pada 11 Oktober 2025, komik Attack on Titan kembali menjadi sorotan utama di kalangan penggemar manga, seiring pengumuman rilis home video lengkap final season pada November mendatang yang memicu maraton ulang global. Hampir empat setengah tahun sejak manga asli tamat, seri karya Hajime Isayama ini terus hidup lewat diskusi segar tentang akhir kontroversialnya, terutama di forum online di mana pembaca berbagi bagaimana misteri Titan jadi alegori konflik dunia nyata. Dengan lebih dari 100 juta kopi terjual secara global, Attack on Titan bukan hanya cerita horor, tapi epos tentang kebebasan dan pengkhianatan. Di tengah tren manga post-apokaliptik yang semakin kompleks, artikel ini mereview esensi seri ini, dari plot gelap hingga daya tariknya yang abadi, mengapa ia tetap jadi benchmark untuk narasi epik di era digital. BERITA BOLA
Ringkasan Singkat Komik Ini: Review Komik Attack on Titan
Attack on Titan bercerita di dunia di mana umat manusia bertahan di balik tembok raksasa untuk lindungi diri dari Titan—makhluk raksasa pemakan manusia yang misterius. Tokoh utama Eren Yeager, Mikasa Ackerman, dan Armin Arlert menyaksikan tembok Maria runtuh saat Titan muncul, mendorong Eren bergabung Korps Pengintai untuk balas dendam. Ternyata, Eren punya kemampuan transformasi jadi Titan, membuka lapisan misteri: siapa musuh sebenarnya, dan apa rahasia di luar tembok.
Serial ini berlangsung dalam 34 volume, dimulai dari era penjarahan Shiganshina di mana trio belajar bertarung dengan peralatan manuver 3D, hingga arc akhir yang ungkap sejarah panjang siklus perang antara Eldia dan Marley. Konflik utama berkembang dari horor survival ke politik rumit, dengan plot twist seperti pengkhianatan Reiner dan pengungkapan Founding Titan. Isayama campur aksi brutal dengan renungan filosofis tentang kebebasan, tamat pada April 2021 dengan akhir bittersweet di mana Eren pilih jalan ekstrem untuk lindungi teman, meninggalkan dunia yang berubah tapi penuh luka.
Alasan Komik Ini Bisa Populer: Review Komik Attack on Titan
Attack on Titan naik daun karena plotnya yang tak terduga: dari misteri sederhana jadi kritik sosial mendalam tentang fasisme dan genosida, yang resonan di era ketegangan geopolitik. Diluncurkan 2009 di majalah bulanan, seri ini lambat laun bangun basis penggemar berkat seni Isayama yang ekspresif—panel-panel Titan dengan proporsi mengerikan dan ekspresi wajah manusiawi yang intens, membuat setiap serangan terasa visceral. Penjualan meledak setelah adaptasi anime 2013, dengan final season 2023 yang tingkatkan sirkulasi ke rekor 100 juta.
Popularitasnya bertahan lewat ekosistem luas: dari merchandise hingga stage musical, dan di 2025, rilis home video November serta spekulasi comeback anime perkuat buzz. Di Barat, seri ini ranked manga terlaris sepanjang masa, dengan komunitas online analisis simbolisme seperti burung kebebasan Eren. Hingga Oktober ini, maraton ulang dan event fan-made tingkatkan engagement, buktikan Attack on Titan tak hanya hit sesaat, tapi fenomena budaya yang dorong pembaca tanya ulang soal moralitas. Singkatnya, ia populer karena ubah horor jadi filsafat, bikin pembaca terpaku dari bab pertama hingga akhir yang memecah belah.
Sisi Positif dan Negatif dari Komik Ini
Sisi positif Attack on Titan sangat kuat: ia jadi masterclass world-building, dengan lore mendalam seperti sejarah Titan Shifter yang ungkap lapisan demi lapisan, beri pelajaran tentang sejarah dan propaganda tanpa terasa berat. Karakterisasi brilian—Eren dari idealis jadi anti-hero kompleks, Levi sebagai prajurit tak tergoyahkan—buat pembaca invest emosional, sementara aksi manuver 3D tambah ketegangan kinestetik. Seni Isayama, dengan garis tebal untuk kekacauan perang dan shading gelap untuk momen tenang, tingkatkan immersi, dan pacing keseluruhan ketat, seperti yang dipuji ulasan volume akhir 2021. Secara budaya, seri ini dorong diskusi tentang etika perang, buatnya relevan untuk isu kontemporer seperti konflik global, dan inspirasi pembaca coba olahraga ekstrem seperti parkour.
Namun, ada sisi negatif yang tak terhindarkan, terutama di arc akhir. Ending kontroversial—dengan Eren sebagai villain ambigu—dibilang terburu-buru dan kurang resolusi, membuat sebagian pembaca frustasi seperti keluhan pasca-tamat 2021. Kekerasan grafis—pemotongan anggota badan dan genosida massal—bisa overwhelming bagi yang sensitif, meski bertujuan tunjukkan horor, dan plot twist berlapis kadang terasa manipulatif daripada organik. Di adaptasi anime, beberapa penggemar kritik kompresi cerita kurangi nuansa manga, meski visual tetap solid. Selain itu, elemen rasial minor dalam lore Marley bisa dianggap bermasalah bagi audiens modern. Meski begitu, kekurangan ini kalah oleh kedalaman tematik keseluruhannya.
Kesimpulan
Attack on Titan tetap jadi tembok raksasa di dunia manga 2025, dengan ringkasan saga Eren yang transformasional, popularitas dari seni brutal dan adaptasi ikonik, serta keseimbangan positif-negatif yang buatnya legendaris. Seri ini ingatkan kita: kebebasan sering datang dengan harga mahal, tapi cerita layak diceritakan. Bagi pemula, mulai dari volume pertama—Anda akan keluar dengan pertanyaan besar tentang dunia kita sendiri. Dengan rilis home video November dan spekulasi comeback, Attack on Titan bukan akhir, tapi undangan terus lawan Titan dalam diri. Jika Anda siap manuver, ambil pedang—satu bab pada satu waktu.